Posts

Tumbuh

Malam yang dingin begitu menusuk hari ini, tanah basah karena musim hujan telah tiba— " Dingin sekali ..." rintihku sambil sesekali mendekap tubuh dengan selimut. Sekilas pikiranku melayang ke masa dimana musim hujan masih terasa menyenangkan, daun basah dan sesekali genangan air tampak didepan halaman rumah. Aku menari, bukan hanya kakiku tapi juga segalanya begitu menyenangkan walaupun basah kuyup— " Sebagian masa lalu yang indah " gumamku menyadari bahwa semua tidak lagi sama. Berpikir sejenak kapan terakhir merasa bebas atas segalanya tanpa menggunakan topeng kulit yang menyesakkan karena tuntutan sosial. Pada akhirnya semua orang tumbuh dengan pengalaman, kegagalan, dan kesepian.

Tergesa

Apakah semua bisa didapatkan secara singkat? — Tanyaku pada diriku. Terkadang perasaan kacau hanya karena satu emosi, pikiran kalut dan tangisan tidak lagi terbendung. “Bagaimana jika aku tidak mengambil jalan itu, pasti semuanya akan baik-baik saja” gumamku dalam isak kecil. Tapi ternyata benar waktu akan memudarkan ingatan lalu bersama memori baru. “Ternyata ini adalah tujuannya” lirihku setelah hari-hari mendung itu mulai tampak cerah. Goresan kecil dan pukulan keras membuat aku sadar kalau semuanya ada batasannya. Hal yang diputuskan dengan tergesa-gesa akan menghasilkan kegagalan berujung penyesalan . 

Amerta

Kita melangkah bukan tanpa tujuan. Bukan tentang zona nyaman atau sekadar rasa bosan. Langkah kita tidak bisa diukur ataupun mengukur. Tidak dengan beralasan sepatu mewah atau sandal jepit lusuh . "Bahkan sepercik emas harus digali diantara banyak tanah dan bebatuan" awal pijakan juga bukan pengukur untuk seberapa angkuh. Karena tanah akan kembali ke tanah. "Hidup berkuasa tidak menghilangkan identitas kalau hanya seorang Hamba" jiwa amerta hanya milik penguasa samasta . Karena keabadian adalah milik peniup jiwa.

Nawasena

Mentari mulai menyapa, percikan sinar yang menerangi alam samasta.  Sepasang kaki yang melangkah tidak tentu arahnya.  Sapaan jiwa yang sesekali dihiraukan, serta langkah yang berharap menemukan tujuannya. Sesekali aku menerka bagaimana keadaan yang jauh dari mata. "Ini gila " batinnya. Dari kejauhan terlihat seseorang yang selama ini begitu memporak-porandakan sukmanya. "Jantungku berdebar kencang, pertanda apa ini?" seakan nawasena berdiri tepat didepan nayana . Aku kira selama ini sudah salah arah tumbuhnya dan tidak pernah kembali ke asalnya . Ternyata hanya bercabang dan akan selalu kembali ke akarnya .

Sepetak

Sungguh semua tidak terbayangkan oleh netra, menepis rasa yang dari beberapa detik terakhir membuat hati begitu lega. Beberapa pasang manik coklat mengalihkan atensinya. "Menghindar setelah semuanya?" gumamku pelan sambil menerka. Seperti sebelumnya sangat terasa membingungkan. Padi hanya butuh sepetak tanah untuk menghasilkan satu kantong beras, dan air hanya butuh segelas cangkir untuk melepas dahaga . "Tapi kenapa?" untuk sepetak hati kau begitu pelit, padahal semua orang mengetahui. Aku hanya menyewa sepersekian detik, bukan untuk waktu yang lama.